TIMES BOJONEGORO, PROBOLINGGO – Bermula dari sebuah pagelaran puisi di Desa Bago, Kecamatan Besuk, Kabupaten Probolinggo, Jatim, pada 2016, Rumah Sastra Gandes kini menjelma menjadi ruang berkesenian yang hidup dan terbuka. Mengusung semangat "Guyub Among Deso," komunitas ini menjadi rumah bagi para seniman lintas generasi dan latar belakang.
“Gandes itu keluarga, tempat berekspresi. Gandes adalah perkumpulan para seniman yang ingin terus meng-upgrade diri. Gandes itu harmoni dan alam. Gandes adalah perjalanan sekaligus pencapaian,” jelas beberapa anggota komunitas Gandes saat dimintai keterangan pada Selasa (27/5/25).
Menurut Kiki, salah satu inisiator, tidak ada keanggotaan resmi dalam komunitas ini. Semua yang terlibat adalah bagian dari proses membangun Gandes bersama-sama.
“Gandes terbentuk pada 29 Mei 2016. Saat itu masih dalam tahap perintisan. Awalnya terjadi di Desa Bago. Soal keanggotaan, saat ini 25 orang lebih. Tidak ada yang bersifat resmi. Semua yang terlibat ikut serta membangun Gandes,” jelasnya.
Pagelaran demi pagelaran telah mereka gelar. Dari Kecamatan Kraksaan, Krucil, Leces, Bago, hingga Kecamatan Pakuniran. Namun Gandes bukan sekadar ruang pentas, melainkan rumah yang selalu terbuka.
“Setiap orang yang punya frekuensi sama kami persilakan bergabung. Tidak ada sekat, ibarat rumah yang pintunya selalu terbuka. Gandes tidak punya satu penggagas tunggal, hanya inisiasi bersama. Yang penting kami sepakat untuk merawatnya,” lanjutnya.
Yada, vocalis sekaligus pemain alat musik modern ataupun tradisional di Gandes mengatakan, "Gandes itu kan Guyub Among Deso, artinya bersatu di setiap desa-desa. Visionnya, kepinginnya kita itu bisa merambah ke tiap-tiap desa menciptakan hiburan-hiburan kecil. Ya kalau bahasa saya, naik haji itu tidak harus ke Makkah, bisa menghibur hati orang banyak itu naik haji sih," ujar yada.
Sempat Vakum karena Pandemi COVID-19, Gandes Kembali Aktif
“Kami sempat berhenti terkendala COVID. Sekarang mulai bergerak lagi. Tidak menyangka bisa berkumpul kembali, meski belum semua. Walau tidak ada keanggotaan resmi, tapi rasa keluarganya tetap nyambung, termasuk canda dan guyonannya,” katanya.
Beragam seni berkembang dalam Gandes, dari musik, tari, sastra atau puisi, lukis, hingga musik tradisional dan modern.
“Kami tidak punya aturan baku. Ada teman-teman yang suka musik tradisional, kami jalankan. Ada yang suka alat musik modern, ya kami ikuti. Bahkan musik hip-hop juga ada, dia rajin sekali bikin lagu, sampai punya album meski belum dirilis. Kami juga punya band grunge bernama Pandawa, yang mengusung musik era 90–2000-an seperti Nirvana, Pearl Jam, dan Inchange, disebut Seattle Sound, yang mungkin sudah tidak laku sekarang,” jelas Yada.
Menurutnya, Gandes bukan kelompok seni tertentu, melainkan paguyuban yang suka membuat acara. “Yang paling keren menurut saya ya di Kecamatan Krucil, bahkan dulu kami pernah tampil di pondok pesantren, seperti di Pondok Pesantren Badridduja. Tempat yang belum kami sambangi ya lapas, itu masih jadi keinginan,” imbuhnya.
Dian Palupi, pelukis sekaligus seniman gerabah, yang mengenal Gandes sejak 2017, mengungkapkan bahwa komunitas ini menjadi arah baru dalam perjalanan seninya.
“Gandes menurut saya seperti arah mata angin, karena dia adalah bagian dari perjalanan saya. Dulu mencari komunitas seni, sastra, dan sebagainya itu susah. Ketika bertemu Gandes, saya merasa menemukan rumah baru. Ini seperti arah baru. Teman-teman dari berbagai tempat bisa terwadahi,” ujarnya.
Yada menambahkan bahwa Gandes selalu terbuka terhadap perubahan zaman. “Sejak awal kami tidak terikat pada prinsip-prinsip kaku. Kalau suatu saat eranya berubah, ya kami juga bisa ikut berubah. Kami adaptif dan menyesuaikan diri,” jelasnya.
Kolaborasi Penting
Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi, baik di antara seniman maupun dengan pemerintah.
“Kami berharap seniman yang berkarya demi idealisme maupun proyek pribadi bisa saling berkolaborasi. Syukur-syukur kalau teman-teman ingin membuat komunitas sendiri, jangan lupa untuk saling berjejaring. Atau kalau ingin bergabung dengan kami, ‘makhluk-makhluk purba’ ini," katanya sambil tertawa, "ayo saja, nanti kita bisa berkarya bersama, menyesuaikan dengan perkembangan zaman.”
Gandes pun terbuka untuk bersinergi dengan pemerintah. “Seniman itu bukan hanya yang aktif di media sosial. Banyak yang karyanya bagus tapi tidak terekspos. Mereka juga layak difasilitasi. Kami tidak antipati pada pemerintah. Justru kami ingin ikut menyukseskan program-program pemerintah, misalnya di bidang pendidikan atau pariwisata. Kami terbuka terhadap ide-ide yang bisa dikolaborasikan,” ujar Yada.
Abul, pemain alat musik keyboard di Gandes, menyebut bahwa Gandes lahir dari hasrat akan seni. “Bagi saya, Gandes berangkat dari passion. Saya menyukai seni, dan di sinilah kami belajar satu sama lain. Karena di sini berkumpul banyak orang dari berbagai penjuru. Juga ada unsur fashion, bagaimana kami mengekspresikan diri sebagai bagian dari komunitas,” ujarnya.
Palupi menambahkan, “Saya berharap Gandes tetap menjadi rumah. Kita semua butuh tempat yang nyaman untuk berkembang, bereksperimen, dan berkreasi. Untuk teman-teman di luar sana, jangan takut berkesenian tidak bisa memberi makan. Saya sudah membuktikan bahwa itu mungkin. Kepada pemerintah, sebagai fasilitator negara, tolong bantu fasilitasi teman-teman seniman, pendidik, dan sektor lainnya. Karena sesuai aturan, negara adalah fasilitator.”
Duwik, pemain alat musik tradisional sape' hingga keyboard, menyampaikan harapan agar nilai-nilai Gandes tetap hidup. “Gandes bukan fisik, tapi nilai. Keguyuban, kesolidan, itulah yang harus terus dijaga. Karena di masa depan, banyak orang akan cenderung individualis. Gandes adalah tempat bertemunya nilai-nilai itu. Walau mungkin nanti orang-orangnya berganti, atau namanya bukan lagi Gandes, selama nilai-nilainya hidup, itu yang terpenting,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa Gandes terbuka untuk semua usia. “Bisa dilihat dari rentang usia kami, dari belasan tahun hingga 30-an. Semua punya peran masing-masing, sekecil apa pun, bahkan di belakang panggung. Mungkin ada yang awalnya belum mengenal dunia seni, atau belum tahu bakatnya. Semoga setelah mengenal Gandes, mereka bisa menyalurkan atau menemukan bakat mereka. Selama memberi manfaat, silakan berekspresi.”
Duwik pun menutup dengan pesan, “Yang dikenang orang adalah karyanya. Maka teruslah berkarya, karena kita tidak pernah tahu kapan karya itu akan memberi manfaat. Nilai ada dalam diri masing-masing. Semoga karya teman-teman Gandes dapat dikenal luas.”
Hadi, salah satu penggerak di Gandes menambahkan, “Gandes adalah wadah kreativitas. Semoga terus berkarya dan menjadi motivasi bagi generasi muda. Meskipun harus merangkak, yang penting terus melangkah dan menciptakan karya. Semoga para seniman bisa jalan bareng untuk menjadikan Probolinggo lebih baik.”
Anniversary Terbuka untuk Umum
Untuk merayakan sembilan tahun perjalanan berkesenian, Gandes akan menggelar acara dalam rangka Syukuran Senang-senang, Anniversary ke-9 pada Jumat, 30 Mei 2025. Acara akan diselenggarakan di halaman Gedung Kesenian Kabupaten Probolinggo, tepatnya di Desa Sumberlele, Kecamatan Kraksaan.
"Acaranya terbuka untuk umum, dari pagi hingga sore. Kami berharap nantinya menjadi momentum berkumpul, menampilkan karya, serta mempererat semangat guyub antar pelaku seni di Probolinggo dan sekitarnya," jelas Hadi.
Sementara itu, Iponk, salah satu pemain gitar di Gandes yang belum bisa ikut bergabung untuk acara tersebut mengatakan,
"Saya masih di ruang rindu mas, tidak bisa komentar banyak. Intinya, teman-teman bisa kembali berkumpul dan berkarya lagi dan lagi, itu sangat keren. Saya senang sekali dan sangat mendukung, Mas," ujarnya kepada TIMES Indonesia melalui Whatsapp.
Selama hampir satu dekade, Gandes telah menghadirkan berbagai pagelaran, seperti Seni Pancar Glagas (15/9/2018), Sastra Krucil (31/12/2018), Takjil Budaya-Sastra Pesantren (18/5/2019), hingga Jagad Merdeka (16/8/2019). Semua berangkat dari satu semangat: menjadikan seni sebagai ruang bertumbuh, bersatu, dan menyala dari desa ke desa. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Rumah Sastra Gandes, Komunitas Seni di Probolinggo yang Terus Hidup
Pewarta | : Abdul Jalil |
Editor | : Muhammad Iqbal |