TIMES BOJONEGORO, BOJONEGORO – Ada satu hal yang sering kita lupakan ketika berbicara tentang ekonomi: bahwa ekonomi sejatinya bukan sekadar urusan angka, grafik, dan laba. Ekonomi adalah urusan manusia dan di Indonesia, manusia itu berjiwa Pancasila.
Karena itu, berbicara tentang ekonomi Pancasila bukan nostalgia terhadap pelajaran PMP di sekolah dasar, melainkan refleksi tentang bagaimana bangsa ini menata hidupnya: adil, berdaulat, dan mandiri.
Gagasan ekonomi Pancasila lahir dari kegelisahan para pendiri bangsa terhadap dua kutub ekstrem: kapitalisme yang menuhankan pasar, dan sosialisme yang mengebiri kebebasan individu.
Bung Hatta, Bapak Koperasi Indonesia, menawarkan jalan tengah: ekonomi yang menempatkan manusia sebagai subjek, bukan objek. “Produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat,” tulisnya dalam Demokrasi Ekonomi (1956).
Di sinilah letak moral ekonomi Pancasila: ekonomi bukan sekadar akumulasi modal, melainkan sarana mewujudkan keadilan sosial. Gotong royong bukan jargon, tapi sistem nilai.
Koperasi bukan sekadar lembaga keuangan, melainkan wajah ekonomi yang berperikemanusiaan yang menumbuhkan partisipasi, menghindari kesenjangan, dan meneguhkan kemandirian.
Gotong Royong sebagai Fondasi Ekonomi
Jika lima sila diterjemahkan dalam bahasa ekonomi, ia membentuk satu ekosistem berkeadilan. Sila pertama menuntun etika bisnis yang berketuhanan. Sila kedua menolak eksploitasi manusia atas manusia.
Sila ketiga menegaskan semangat kebangsaan dalam produksi dan konsumsi. Sila keempat mengedepankan musyawarah dalam pengambilan keputusan ekonomi. Sila kelima menjadi tujuannya: keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Nilai-nilai ini relevan sekali untuk organisasi modern, baik lembaga sosial, gerakan kepemudaan, maupun organisasi masyarakat. Dalam konteks itu, ekonomi Pancasila berarti cara mengelola sumber daya yang adil, partisipatif, dan mandiri bukan bergantung pada belas kasihan donatur atau bantuan proyek semata.
Masalah klasik organisasi di negeri ini sering sama: semangatnya besar, tapi dompetnya tipis. Program sudah disusun, proposal sudah dikirim, namun ketika dana tak turun, kegiatan pun ikut tumbang. Di sinilah pentingnya kemandirian ekonomi organisasi.
Kemandirian bukan berarti menolak bantuan, tetapi kemampuan bertahan dan berkembang meski tanpa sokongan pihak luar. Organisasi yang mandiri adalah yang mampu menghidupi kegiatannya sendiri melalui inovasi dan kreativitas ekonomi. Entah dengan membuka usaha, mengelola aset produktif, atau mengembangkan koperasi internal.
Bayangkan organisasi pemuda yang membentuk koperasi sablon, unit pertanian organik, atau kafe literasi. Di situ ada gotong royong (modal dari anggota), keadilan (keuntungan dibagi bersama), dan kemandirian (tidak bergantung pada hibah).
Hatta pernah mengingatkan, koperasi bukan sekadar alat ekonomi, melainkan alat pendidikan sosial. Di sanalah Pancasila bekerja: dalam tindakan nyata, bukan sekadar semboyan.
Dunia digital memang telah mengubah lanskap ekonomi. Tapi justru di tengah gempuran ekonomi platform yang cenderung kapitalistik di mana algoritma menentukan siapa yang diuntungkan dan siapa yang tertinggal nilai-nilai Pancasila menjadi semakin penting.
Organisasi bisa memanfaatkan digitalisasi tanpa kehilangan jiwanya. Misalnya, dengan membangun e-commerce berbasis komunitas, menjual produk anggota lewat media sosial, atau menciptakan sistem donasi digital yang transparan dan gotong royong. Di situlah *ekonomi Pancasila* menemukan bentuk baru: kemandirian yang berbasis solidaritas dan teknologi.
Jejak Pemikiran dan Konteks Kekinian
Ekonomi Pancasila bukan gagasan mengawang. Ia berakar dari pemikiran tokoh-tokoh bangsa seperti Bung Hatta dan Mubyarto. Dalam Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan (1979), Mubyarto menegaskan bahwa sistem ekonomi Indonesia harus berorientasi pada keadilan sosial, pemerataan, dan kesejahteraan bersama. Ia menolak doktrin “pertumbuhan dulu, pemerataan nanti,” karena pertumbuhan tanpa pemerataan hanya menambah kesenjangan.
Pemikiran ini kini menemukan relevansinya kembali. Di tengah ketimpangan ekonomi dan krisis kepercayaan terhadap institusi publik, prinsip ekonomi Pancasila menjadi panduan moral agar organisasi dan masyarakat tidak kehilangan arah agar idealisme tidak tunduk pada pragmatisme.
Kemandirian organisasi tidak tumbuh dari slogan, tapi dari budaya dan kesadaran. Kesadaran bahwa setiap anggota adalah aset, bukan beban; bahwa ekonomi bukan hanya alat bertahan, tetapi ruang memperjuangkan nilai. Ketika organisasi mampu mengelola sumber dayanya sendiri, ia tak lagi bergantung pada proyek, tapi menjadi subjek perubahan.
Dalam konteks ini, ekonomi Pancasila adalah panduan moral sekaligus strategi praktis. Ia mengajarkan keseimbangan antara kemandirian dan kebersamaan, antara keadilan dan produktivitas, antara etika dan efisiensi.
Ekonomi Pancasila bukan sekadar teori ekonomi, melainkan cara pandang hidup. Ia mengajarkan bahwa gotong royong masih relevan, bahwa adil dan mandiri bisa berjalan seiring, dan bahwa organisasi yang berpijak pada nilai-nilai Pancasila akan selalu menemukan jalan bahkan di tengah krisis.
Seperti pesan Bung Hatta: “Koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong-menolong.”
Di zaman sekarang, pesan itu berarti: setiap organisasi yang mandiri, adil, dan berjiwa gotong royong adalah wujud nyata ekonomi Pancasila yang hidup bukan di buku teks, tapi di denyut nyata kehidupan masyarakat.
***
*) Oleh : Choirul Anam, Wakil Ketua Bidang Ekonomi PC GP Ansor Bojonegoro.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |