https://bojonegoro.times.co.id/
Opini

Guru dan Pertaruhan Masa Depan Bangsa

Jumat, 14 November 2025 - 17:17
Guru dan Pertaruhan Masa Depan Bangsa Ida Fauziyah, Mahasiswa PPG Calon Guru, Universitas PGRI Ronggolawe Tuban.

TIMES BOJONEGORO, BOJONEGORO – Setiap kali kita membicarakan masa depan pendidikan, sering kali yang muncul adalah soal kurikulum, fasilitas, dan teknologi. Padahal, inti dari segala perubahan itu tetap tidak berubah: guru. 

Di ruang-ruang kelas sederhana, di sekolah-sekolah pelosok yang jauh dari sorotan kota, hingga di ruang virtual di tengah arus digitalisasi, guru tetap menjadi jantung denyut pendidikan. Mereka memikul beban yang tak pernah benar-benar diukur secara adil: tanggung jawab membentuk kualitas manusia.

Namun, di balik peran besar itu, terdapat kenyataan yang tidak selalu nyaman untuk diakui. Guru sering ditempatkan dalam posisi paradoks. Mereka diminta menjadi aktor perubahan, tetapi sering tidak diberi alat yang memadai untuk berubah. Mereka diminta menjaga martabat profesinya, tetapi realitas kesejahteraan masih jauh dari layak bagi sebagian besar guru, terutama guru honorer. 

Publik mengagungkan guru sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”, tetapi dalam banyak hal justru itulah kalimat yang mengabadikan ketidakadilan: kita memuji mereka, tetapi tidak selalu memperjuangkan mereka.

Di tengah perubahan kurikulum yang terus bergeser, guru menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Kurikulum Merdeka mengajak guru menjadi fasilitator yang mampu menumbuhkan kreativitas peserta didik, bukan sekadar pengajar materi. 

Pendekatan ini sangat ideal, tetapi membutuhkan kompetensi baru: kemampuan memahami asesmen formatif, literasi digital, desain pembelajaran adaptif, dan manajemen kelas yang humanis. Tidak sedikit guru di lapangan yang masih berjuang memahami konsep-konsep tersebut sambil tetap berhadapan dengan realitas kelas yang dinamis dan kadang pelik.

Dalam konteks itu, kita melihat fenomena yang mengkhawatirkan: guru dibanjiri tuntutan administratif, tetapi waktu untuk mendidik justru berkurang. Banyak guru bercerita bahwa mereka lebih sibuk mengunggah laporan, mengisi perangkat pembelajaran, atau menyiapkan dokumen akreditasi, daripada merancang metode pengajaran yang bermakna. Yang terjadi kemudian adalah kelelahan profesional—burnout yang perlahan tetapi pasti merapuhkan kualitas pembelajaran.

Padahal, guru adalah profesi berbasis relasi manusia. Tidak ada teknologi yang bisa menggantikan kemampuan guru membaca raut wajah siswa yang sedang kehilangan semangat, memahami tanda-tanda kecemasan yang tak terucap, atau menuntun seorang anak melewati fase sulit dalam kehidupan. 

Di banyak sekolah, guru-lah yang menjadi orang pertama yang menyadari ketika seorang anak mengalami masalah keluarga, tekanan psikologis, atau potensi yang belum ditemukan. Ini bukan sekadar tugas mengajar; ini tugas kemanusiaan.

Di tengah tuntutan profesionalisme, kita sering lupa satu hal: guru pun manusia. Mereka bisa lelah, bisa bingung, bisa kecewa, dan membutuhkan ekosistem yang memberi ruang tumbuh. 

Kita mendambakan guru yang kreatif, tetapi apakah kita memberi mereka ruang untuk belajar? Kita menuntut guru yang melek digital, tetapi apakah perangkat yang tersedia memadai? Kita berharap guru menginspirasi, tetapi apakah sistem pendidikan telah menginspirasi mereka?

Tidak semua harus gelap. Ada banyak contoh guru yang terus menyalakan lentera perubahan meski bekerja dalam keterbatasan. Di desa-desa yang sulit akses internet, guru menciptakan kelas berbasis proyek dengan memanfaatkan sumber daya lokal. 

Di sekolah-sekolah perkotaan, guru berkolaborasi membuat komunitas belajar untuk saling menguatkan kompetensi. Di pesantren, guru memadukan tradisi literasi kitab dengan kecakapan abad 21, membuktikan bahwa modernitas dan nilai spiritual bisa berjalan seiring.

Namun kisah-kisah inspiratif tidak boleh membuat kita lupa pada masalah struktural. Kesejahteraan guru honorer masih menjadi duri panjang. Banyak dari mereka menerima gaji yang bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka mengabdi bertahun-tahun tanpa kepastian status. Padahal, bagaimana mungkin pendidikan bisa berkualitas jika fondasi kesejahteraannya rapuh?

Di titik ini, negara perlu hadir bukan sebagai pengatur, tetapi sebagai penguat. Kebijakan pendidikan tidak boleh berhenti pada perubahan kurikulum atau pengadaan fasilitas. Yang paling dibutuhkan guru adalah ekosistem kerja yang sehat: beban administratif yang masuk akal, kesempatan pelatihan yang relevan, penghargaan yang adil, serta jalur karier yang jelas. Investasi terbesar dalam pendidikan bukanlah pada infrastruktur fisik, tetapi pada kualitas dan martabat guru.

Masyarakat pun punya peran yang tidak kalah penting. Kita perlu berhenti memandang guru sebagai pihak yang “harus selalu benar”, tetapi sebagai mitra dalam proses pendidikan. Orang tua perlu membuka ruang dialog yang sehat dengan guru, bukan menciptakan jarak hierarkis. 

Dunia usaha dapat terlibat dalam memperkaya ekosistem pembelajaran melalui kemitraan nyata, bukan hanya CSR simbolik. Dan publik harus berani menyuarakan dukungan terhadap kesejahteraan guru sebagai kepentingan nasional.

Kualitas manusia Indonesia ditentukan oleh kualitas guru yang menemani proses belajar generasi hari ini. Guru bukan sekadar profesi; mereka adalah arsitek peradaban. 

Di ruang kelas yang terasa biasa, mereka sedang membentuk kemampuan berpikir kritis, empati sosial, karakter moral, dan kesadaran kebangsaan. Apa yang mereka lakukan hari ini menentukan kekuatan bangsa esok hari.

Jika kita benar-benar ingin membangun masa depan pendidikan yang lebih baik, maka kita harus mulai dari sini: memastikan guru dihargai, didukung, dan diberdayakan. 

Tidak ada negara maju tanpa guru yang bermartabat. Tidak ada masa depan yang kokoh tanpa mereka yang dengan kesunyian dan dedikasi telah menyalakan cahaya pengetahuan. Guru adalah fondasi, dan fondasi itulah yang harus kita perkuat tanpa kompromi.

***

*) Oleh : Ida Fauziyah, Mahasiswa PPG Calon Guru, Universitas PGRI Ronggolawe Tuban.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bojonegoro just now

Welcome to TIMES Bojonegoro

TIMES Bojonegoro is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.