https://bojonegoro.times.co.id/
Opini

Ketika Pesantren Jadi Korban Framing

Kamis, 16 Oktober 2025 - 10:44
Ketika Pesantren Jadi Korban Framing Choirul Anam, Wakil Ketua Bidang Ekonomi PC GP Ansor Bojonegoro.

TIMES BOJONEGORO, BOJONEGORO – Suatu malam, linimasa X (Twitter) mendadak ramai. Tagar #BoikotTrans7 menyalip tren hiburan. Awalnya saya kira ini soal gosip selebritas. Ternyata tidak. Isu yang meledak justru menyangkut marwah pesantren sebuah tayangan berjudul Xpose Uncensored di Trans7 menampilkan potongan video yang dinilai melecehkan Pondok Pesantren Lirboyo dan beberapa pesantren lain.

Sekilas mungkin niatnya “membuka tabir kehidupan pesantren.” Namun cara penyajiannya justru seperti menabur garam di luka: menampilkan adegan santri mencium tangan kiai, jongkok di depan guru, lalu diberi narasi yang melecehkan. Salah satu kalimat bahkan menyebut santri “rela ngesot demi memberi amplop ke kiai.” Di titik itulah publik murka.

Bagi orang luar, mungkin itu sekadar adegan eksotis. Tapi bagi warga pesantren, itu simbol cinta dan ta’dzim penghormatan lahir dari hati, bukan dari amplop. Ketika penghormatan itu dipelintir menjadi penjilatan, yang terjadi bukan sekadar salah tafsir, tapi penghinaan terhadap nilai yang dijaga turun-temurun.

Dalam hitungan jam, media sosial menjadi lautan protes. Ribuan santri, alumni, dan masyarakat umum menyerukan boikot terhadap Trans7. PMII Jawa Timur melapor ke KPI. Himpunan Alumni Santri Lirboyo bersuara. Anggota DPR dari Fraksi PKB ikut bereaksi. Akhirnya, Trans7 meminta maaf. Namun publik terlanjur kecewa. Sebab bagi mereka, luka moral tidak bisa disembuhkan hanya dengan kata “mohon maaf.”

Masalah utamanya sederhana: media sering lupa bahwa ia bukan sekadar cermin, tapi juga pembentuk realitas. Ketika cermin itu kehilangan empati, yang terlihat bukan refleksi, melainkan distorsi. Tayangan Xpose Uncensored menjadi contoh nyata bagaimana media gagal membaca konteks budaya yang ia liput.

Dalam teori komunikasi, ini disebut cultural insensitivity ketidakpekaan terhadap nilai lokal. Di pesantren, mencium tangan kiai bukan feodalisme, melainkan simbol kasih dan keberkahan. Tapi kamera televisi tak mampu menangkap makna, hanya gestur. Maka yang tersisa adalah salah tafsir.

Kekeliruan semacam ini menunjukkan disparitas naratif: ketika media besar memiliki kuasa membingkai cerita, sementara pihak yang digambarkan tidak punya ruang membantah. Pesantren, dengan segala kesederhanaannya, sering tidak punya akses untuk mengoreksi narasi itu.

Sebagian orang mungkin membela: “Bukankah media bebas?” Ya, tapi kebebasan tanpa etika hanyalah pisau tanpa sarung tajam, tapi bisa melukai siapa saja. 

Dalam Kode Etik Jurnalistik jelas disebutkan: setiap tayangan harus berimbang, menghormati norma sosial, dan tidak mengandung penghinaan terhadap kelompok masyarakat.

Media boleh menyoroti pesantren, tapi jangan menilainya dengan kacamata bias modernitas. Dunia pesantren punya logika sendiri: tentang penghormatan, kesederhanaan, dan spiritualitas. Menilai mereka dengan standar kota sama saja menilai ikan dari kemampuannya memanjat pohon.

Sayangnya, industri media hari ini lebih sibuk mengejar sensasi ketimbang makna. Dalam logika rating, kontroversi lebih menjual daripada kedalaman. Karena itu muncul program semacam Xpose Uncensored, yang lebih menonjolkan “uncensored”-nya ketimbang edukasinya.

Namun di balik semua kegaduhan itu, ada harapan baru: publik kini tidak lagi pasif. Lewat media sosial, masyarakat bisa mengoreksi balik. Gerakan #BoikotTrans7 adalah bentuk perlawanan digital terhadap arogansi narasi televisi. Penonton kini bukan sekadar penerima informasi, tapi juga pengawas moral.

Dari kasus ini, ada beberapa pelajaran penting. Pertama, media harus belajar mendengar sebelum menayangkan. Jika ingin mengangkat kehidupan pesantren, libatkan kiai dan santri sebagai sumber utama. 

Kedua, KPI dan regulator penyiaran harus lebih cepat menegur, bukan menunggu viral. Ketiga, pesantren perlu memperkuat kanal medianya sendiri agar mampu menarasikan dirinya secara utuh dan bermartabat.

Sebab, jujur saja, di tengah gempuran konten digital, pesantren masih sering digambarkan secara stereotip: kumal, kolot, tertinggal. Padahal banyak pesantren kini menjadi pusat inovasi sosial, ekonomi, hingga literasi digital. Sayangnya, kamera televisi jarang meliput yang semacam itu mungkin karena tidak cukup sensasional.

Kisah #BoikotTrans7 bukan sekadar soal tayangan yang keliru. Ia mencerminkan benturan dua dunia: dunia spiritual yang menjunjung adab, dan dunia industri yang mengejar rating. Ketika keduanya bertemu tanpa saling memahami, yang tersisa adalah luka.

Di pesantren, santri mencium tangan kiai bukan karena diperintah, tapi karena cinta. Mereka menghormati bukan karena amplop, tapi karena ilmu. Mungkin, kalau saja para pembuat acara mau duduk sejenak di serambi pesantren, mendengarkan ngaji kitab kuning sambil menyeruput kopi pahit, mereka akan sadar: tidak semua hal perlu “dibongkar.” Sebab ada nilai yang lebih tinggi dari sekadar “xpose” namanya adab.

 

***

*) Oleh : Choirul Anam, Wakil Ketua Bidang Ekonomi PC GP Ansor Bojonegoro.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bojonegoro just now

Welcome to TIMES Bojonegoro

TIMES Bojonegoro is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.