TIMES BOJONEGORO, BOJONEGORO – Ada satu fakta menarik dari hasil riset nasional terbaru yang layak menjadi bahan renungan bersama. Cerdaskan Indonesia Research Center (CIRC) bersama Patriot Pelajar Mahasiswa (PPM) menemukan bahwa 98 persen murid dan 99 persen orang tua menilai Gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat (7 KAIH) efektif membentuk karakter dan disiplin murid Indonesia.
Angka ini bukan sekadar statistik. Ia adalah cermin dari sebuah gerakan pendidikan yang benar-benar hidup bukan proyek seremonial, bukan pula kampanye moral yang berhenti di spanduk. Ia tumbuh menjadi kebiasaan baru yang menyentuh keseharian anak-anak kita: dari cara mereka bangun pagi hingga cara mereka berinteraksi dengan orang tua.
Program 7 KAIH mencakup tujuh kebiasaan sederhana: bangun pagi, beribadah, berolahraga, makan sehat, gemar belajar, bermasyarakat, dan tidur cepat. Kebiasaan yang mungkin tampak sepele, namun justru di sanalah letak revolusi karakter bangsa dimulai di dapur rumah, di meja makan, dan di halaman sekolah.
Hasil riset CIRC menunjukkan 93 persen murid kini bangun sebelum matahari terbit, dan 95 persen merasa lebih semangat belajar. Mereka tidak lagi berangkat ke sekolah dengan wajah lesu. 96 persen melaksanakan ibadah rutin dan 89 persen berolahraga setiap hari.
Ini bukan hanya tentang kedisiplinan, tapi tentang kedaulatan diri. Tentang generasi muda yang belajar menaklukkan waktu dan menata hidup dengan teratur di tengah derasnya arus digital yang serba cepat dan sering kali tanpa arah.
Dari sisi keluarga, 99 persen orang tua mendukung program ini, dan 97 persen melihat hubungan dengan anak semakin harmonis. Itu artinya, pendidikan karakter tidak lagi berhenti di ruang kelas, tapi berlanjut di ruang makan dan ruang doa keluarga.
Namun, ada catatan penting: 45 persen orang tua masih kesulitan menjaga konsistensi kebiasaan anak karena pengaruh gadget dan padatnya aktivitas akademik.
Inilah tantangan zaman. Anak-anak kita hidup di era notifikasi yang tak pernah tidur, di mana konsentrasi mudah tercerabut oleh layar. Maka, pendidikan karakter bukan hanya tanggung jawab guru, tapi juga perjuangan keluarga.
Sebagaimana diungkapkan Vela Retna Widyastuti, Peneliti Utama CIRC: “Keteladanan keluarga dan dukungan sekolah adalah dua pilar utama keberhasilan 7 KAIH.” Kata kuncinya: keteladanan. Anak bukan mendengar, melainkan meniru. Maka perubahan bangsa bermula dari cara orang tua mengatur jam tidur dan guru mengatur keteladanan.
Ada satu sisi menarik dari penelitian ini: peran OSIS. Sebanyak 93 persen pimpinan OSIS menilai program ini memperkuat etos kerja, disiplin, dan gotong royong. Bahkan mereka mengusulkan “kebiasaan ke-8”: peduli sesama, menjaga kebersihan, dan bijak bermedia digital.
Inisiatif ini lahir bukan dari atas, tetapi dari bawah dari murid yang merasakan langsung perubahan dirinya. Mereka tidak menunggu kebijakan, mereka berinisiatif. Dan di sinilah makna sejati pendidikan karakter: ketika pelajar menjadi subjek, bukan objek.
Menjawab Krisis Karakter Zaman Digital
Kita tahu, zaman ini melahirkan paradoks: generasi paling cerdas secara digital, tapi paling rapuh secara emosional. Anak-anak mudah stres, mudah cemas, kehilangan arah karena hidupnya dipenuhi perbandingan semu di media sosial.
Maka kehadiran 7 KAIH menjadi relevan bahkan mendesak. Ia hadir sebagai “penyeimbang kehidupan” di tengah badai digitalisasi. 96 persen pimpinan OSIS menilai 7 KAIH relevan dengan tantangan murid masa kini, karena menumbuhkan empati, menata rutinitas sehat, dan mengembalikan keseimbangan spiritual.
Beberapa sekolah kini menambahkan kebiasaan baru: literasi pagi sebelum pelajaran, senam bersama setiap Senin, hingga aksi sosial OSIS sebagai wujud praktik langsung nilai-nilai 7 KAIH. Ini menandakan transformasi pendidikan kita mulai menemukan jiwanya: tidak lagi sekadar mengajar, tapi menghidupkan nilai.
CIRC dan PPM merekomendasikan agar 7 KAIH tidak berhenti di level gerakan, tetapi masuk dalam kebijakan nasional pendidikan karakter.
Ada lima strategi penting: memperkuat pendampingan guru dan orang tua, membangun forum kolaborasi sekolah-rumah, mengintegrasikan nilai ke dalam kurikulum, menambahkan kebiasaan digital sehat (detoks harian), dan memberi insentif bagi sekolah teladan.
Inilah saatnya kebijakan pendidikan kita berpihak pada pembiasaan, bukan sekadar pengajaran. Karena sejatinya karakter dibentuk bukan oleh pidato, melainkan oleh rutinitas.
Riset ini mencakup 34 provinsi dengan 3.306 responden, menunjukkan satu kesimpulan kuat: karakter bangsa tidak dibentuk di ruang seminar, tapi di kebiasaan kecil yang diulang setiap hari.
Bangsa yang besar lahir dari murid yang bangun pagi dengan semangat, guru yang hadir tepat waktu, dan orang tua yang menyalakan teladan di rumah.
7 KAIH adalah bukti bahwa revolusi moral bisa dimulai tanpa gaduh, tanpa doktrin. Ia tumbuh pelan-pelan, tapi pasti di hati anak-anak yang sedang belajar menjadi manusia Indonesia seutuhnya.
Mungkin inilah saatnya kita kembali pada filosofi sederhana: “Bangun pagi bukan sekadar kebiasaan, tapi pernyataan cinta pada kehidupan.” Dan dari kebiasaan kecil itulah, generasi hebat sedang lahir di sekolah-sekolah kita hari ini.
***
*) Oleh : Ida Fauziyah, Mahasiswa PPG Calon Guru, Universitas PGRI Ronggolawe Tuban.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |