https://bojonegoro.times.co.id/
Opini

Menyelamatkan Warisan Intelektual Bangsa dari Barat

Sabtu, 04 Oktober 2025 - 23:22
Menyelamatkan Warisan Intelektual Bangsa dari Barat Ida Fauziyah, Guru MI Alam Al Azhar Sumberrejo.

TIMES BOJONEGORO, BOJONEGORO – Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai dan melestarikan warisan intelektual para pendahulunya. Namun, belakangan ini Indonesia menghadapi sebuah ironi. Pemikiran tokoh-tokoh nasional yang dahulu menjadi landasan perjuangan bangsa kian terpinggirkan dalam diskursus pendidikan. 

Dunia akademik yang seharusnya menjadi garda depan dalam menjaga dan menghidupkan gagasan-gagasan luhur, justru lebih gemar mengutip teori Barat ketimbang menggali pemikiran para tokoh bangsa sendiri.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar tentang arah pendidikan kita. Bagaimana mungkin generasi muda Indonesia lebih akrab dengan Karl Marx, John Locke, atau Michel Foucault, sementara di tanah air sendiri terdapat tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara, hingga Nurcholish Madjid yang gagasannya tidak kalah tajam dan relevan? Jika pemikiran lokal terus dikesampingkan, maka bangsa ini sedang berjalan menuju krisis identitas intelektual.

Sejarah mencatat bahwa Indonesia tidak pernah miskin gagasan. Soekarno melahirkan konsep Trisakti dan Marhaenisme yang berbicara tentang kedaulatan politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Bung Hatta menggagas demokrasi ekonomi berbasis koperasi sebagai alternatif sistem kapitalisme yang eksploitatif. 

Ki Hadjar Dewantara meletakkan dasar pendidikan yang memerdekakan manusia. KH Hasyim Asy’ari menekankan akhlak sebagai inti dari peradaban Islam Nusantara. Semua pemikiran ini lahir dari pergulatan nyata dengan kondisi bangsa dan terbukti mampu menggerakkan perubahan.

Sayangnya, gagasan besar itu kini lebih sering dijadikan hiasan dalam upacara atau slogan seremonial ketimbang dipelajari secara kritis dalam ruang-ruang akademik. Buku-buku teks perguruan tinggi jarang menjadikan pemikiran tokoh nasional sebagai bahan ajar utama. 

Diskusi akademik pun lebih ramai membedah teori dari filsuf Barat, sementara pemikiran tokoh bangsa hanya disebut sekilas. Akibatnya, generasi muda tumbuh dengan kecenderungan mengagungkan gagasan asing dan memandang gagasan lokal sebagai kelas dua.

Kondisi ini diperparah oleh lemahnya dokumentasi dan publikasi karya tokoh bangsa. Banyak gagasan masih terserak dalam pidato, arsip lama, atau naskah yang sulit diakses. 

Sementara karya pemikir Barat hadir dalam terjemahan yang apik, mudah ditemukan, bahkan dikemas secara populer dalam berbagai bentuk digital. Tidak heran jika mahasiswa lebih mengenal The Republic karya Plato daripada pidato Soekarno di Sidang PBB yang sarat makna geopolitik.

Arus globalisasi digital juga berperan besar dalam mengukuhkan dominasi Barat dalam diskursus publik. Media sosial penuh dengan kutipan filsuf asing yang dikemas menarik, sementara gagasan tokoh bangsa jarang dimunculkan dalam format yang serupa. 

Generasi muda yang haus bacaan cepat cenderung lebih mudah mengonsumsi teori populer dari luar negeri ketimbang menekuni gagasan tokoh lokal yang dianggap “berat” dan tidak tersedia secara luas.

Pendidikan Indonesia perlu membalik keadaan ini. Pemikiran tokoh bangsa harus diposisikan sebagai rujukan utama, bukan sekadar pelengkap. Dunia pendidikan tidak boleh hanya menjadi konsumen teori global, melainkan harus menjadi produsen pemikiran yang berakar pada tanah air sendiri. 

Menghidupkan kembali gagasan tokoh nasional bukan berarti menutup diri dari pemikiran Barat, melainkan menempatkannya secara proporsional. Barat bisa menjadi pelengkap, tetapi arah pendidikan harus berpijak pada warisan intelektual bangsa.

Langkah strategis yang dapat ditempuh adalah dengan mereorientasi kurikulum agar memberi ruang besar bagi karya pemikir nasional. Konsep demokrasi ekonomi Hatta misalnya, bisa ditempatkan sejajar dengan pemikiran Adam Smith. 

Filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara harus dijadikan ruh dalam setiap fakultas keguruan, bukan sekadar materi sejarah pendidikan. Dengan cara ini, mahasiswa tidak hanya menghafal teori luar, tetapi juga belajar memahami dan mengkritisi gagasan tokoh bangsanya sendiri.

Selain itu, digitalisasi karya tokoh bangsa menjadi kebutuhan mendesak. Pemikiran besar tidak boleh hanya tinggal di rak perpustakaan atau catatan pidato. Ia harus dipopulerkan dalam bentuk e-book, podcast, video pendek, bahkan konten kreatif di media sosial yang sesuai dengan selera generasi muda. Hanya dengan cara itu gagasan besar bisa masuk dalam ruang diskusi anak muda dan membentuk kesadaran kolektif.

Revitalisasi pemikiran tokoh bangsa juga memerlukan kolaborasi. Akademisi, komunitas intelektual, hingga pesantren dapat bersinergi menghidupkan kembali kajian tokoh nasional dalam diskusi publik. Seminar, riset, dan forum intelektual perlu diarahkan pada aktualisasi gagasan tokoh bangsa terhadap persoalan hari ini. 

Misalnya, bagaimana konsep koperasi Hatta bisa menjawab problem ketimpangan ekonomi digital, atau bagaimana pemikiran Mpu Tantular tentang Bhinneka Tunggal Ika bisa menjadi solusi menghadapi krisis toleransi.

Jika warisan intelektual bangsa terus dibiarkan terpinggirkan, kita sedang menggiring generasi muda menjadi penonton di panggung peradaban sendiri. Pendidikan yang hanya bergantung pada teori Barat akan melahirkan generasi yang tercerabut dari akarnya. Mereka mungkin pintar, tetapi kehilangan jati diri. Mereka mungkin modern, tetapi tidak berakar pada kebudayaan sendiri.

Sebagaimana pesan Ki Hadjar Dewantara, pendidikan sejatinya menuntun kodrat anak agar dapat mencapai kebahagiaan setinggi-tingginya sebagai manusia dan anggota masyarakat. Menuntun berarti mengakar, bukan mencabut. Jika pendidikan tidak kembali berpijak pada pemikiran tokoh bangsa, maka yang lahir bukan manusia merdeka, melainkan manusia yang bingung arah.

Sudah saatnya kita menyelamatkan warisan intelektual bangsa dari bayang-bayang Barat. Generasi muda harus dikenalkan pada tokoh bangsanya sendiri, diajak mengkritisi gagasan mereka, dan didorong untuk mengembangkan pemikiran baru yang relevan dengan zamannya. Hanya dengan begitu Indonesia dapat membangun peradaban yang kokoh, bermartabat, dan sesuai dengan kepribadian bangsa. (*)

***

*) Oleh : Ida Fauziyah, Guru MI Alam Al Azhar Sumberrejo.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bojonegoro just now

Welcome to TIMES Bojonegoro

TIMES Bojonegoro is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.