https://bojonegoro.times.co.id/
Opini

Sekolah Maju, Nalar Mundur?

Rabu, 19 November 2025 - 17:14
Sekolah Maju, Nalar Mundur? Ida Fauziyah, Mahasiswa PPG Calon Guru, Universitas PGRI Ronggolawe Tuban.

TIMES BOJONEGORO, BOJONEGORO – Pendidikan selalu disebut sebagai jalan paling strategis untuk memajukan bangsa. Namun, setiap kali kita memeriksa kenyataan di lapangan, selalu muncul pertanyaan yang mengguncang: benarkah sistem pendidikan kita sedang mempersiapkan generasi masa depan, atau justru tanpa sadar sedang mencetak generasi yang kehilangan kemampuan berpikir kritis, kehilangan karakter, dan kehilangan arah?

Hari ini, sekolah-sekolah tampak semakin megah, kurikulum berkali-kali direvisi, perangkat digital diperbanyak, dan jargon “merdeka belajar” terdengar di mana-mana. Tetapi ada jarak yang lebar antara slogan dan kenyataan. 

Banyak peserta didik belajar kejar tayang, guru terbebani administrasi, dan orang tua terjebak dalam kompetisi semu bernama nilai rapor. Pendidikan seolah sibuk dengan segala sesuatu kecuali dengan apa yang seharusnya menjadi inti: mencerdaskan kehidupan bangsa.

Salah satu masalah paling serius dalam pendidikan kita adalah dikotomi antara pengetahuan dan kemampuan berpikir. Siswa diajarkan untuk mengetahui, tetapi tidak diajarkan untuk memahami. 

Mereka diminta menghafal, bukan menganalisis. Mereka digenjot untuk mengejar nilai, bukan memecahkan masalah. Padahal di dunia yang berubah cepat, pengetahuan mudah usang. Yang lebih penting adalah kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan adaptif.

Ironisnya, dalam banyak kelas, nalar jarang sekali mendapat ruang. Guru sering kali dipaksa mengejar target kurikulum, bukan mengejar kualitas pemahaman. Akibatnya, ruang diskusi menyempit, kebebasan bertanya mengecil, dan keberanian berbeda pendapat kerap dipadamkan secara halus atau terang-terangan. Kita secara tidak sadar telah membangun budaya “ikut saja”, bukan budaya “pikir dulu”.

Di sisi lain, teknologi pendidikan yang seharusnya membantu justru menambah beban. Sekolah berlomba-lomba memamerkan perangkat baru, sementara banyak guru belum dilatih dengan cukup. 

Alih-alih memudahkan pembelajaran, teknologi menjadi formalitas yang tak menyentuh esensi. Pendidikan bukan soal alat, tetapi soal relasi: antara guru dan murid, antara gagasan dan pengalaman, antara teori dan praktik kehidupan.

Permasalahan lain yang tak kalah penting ialah ketimpangan kualitas pendidikan antara kota dan desa. Di daerah, banyak sekolah masih kekurangan guru, sarana minim, dan akses belajar tidak merata. Tetapi anehnya, mereka tetap dituntut mencapai standar yang sama dengan sekolah-sekolah favorit di kota besar. 

Ketimpangan ini bukan hanya teknis, tetapi struktural. Anak yang lahir di desa tidak pernah meminta dilahirkan jauh dari pusat kota tetapi sistem pendidikan kita sering menghukum mereka karena hal yang tidak mereka pilih.

Sementara itu, pemerintah dan pemangku kebijakan terus berbicara tentang transformasi pendidikan. Namun transformasi jenis apa yang dimaksud jika kesejahteraan guru saja masih menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai? 

Bagaimana guru bisa menjadi motor perubahan bila kesehariannya bergelut dengan beban kerja administratif, gaji yang tidak merata, dan status kepegawaian yang tidak jelas? Guru dituntut profesional, tetapi negara tidak selalu hadir secara profesional untuk mereka.

Lebih jauh lagi, pendidikan kita sering kali mengabaikan dimensi karakter dan kemanusiaan. Banyak sekolah menanamkan disiplin, tetapi tidak menanamkan empati. Mengajarkan kepatuhan, tetapi melupakan keberanian moral. 

Memperbanyak aturan, tetapi minim menumbuhkan kesadaran. Padahal dunia hari ini tidak membutuhkan manusia patuh semata; ia membutuhkan manusia yang mampu berpikir jernih, bersikap adil, dan bertanggung jawab atas pilihannya.

Pendidikan juga seharusnya menjadi ruang kesetaraan, bukan kompetisi tanpa arah. Tetapi kenyataannya, sistem ujian, perankingan, dan seleksi membuat sekolah seperti arena lomba. Anak-anak sejak kecil diajarkan bahwa hidup adalah soal mengalahkan orang lain, bukan soal menjadi manusia yang lebih baik. Ini bukan hanya melelahkan, tetapi berbahaya: kita mencetak generasi yang haus validasi, bukan haus pengetahuan.

Namun, di tengah berbagai persoalan ini, kita masih punya harapan besar. Banyak guru di pelosok yang bekerja sepenuh hati meski fasilitas terbatas. Banyak sekolah kecil yang justru melahirkan inovasi pembelajaran. Banyak komunitas literasi tumbuh dari desa hingga kota. Semua itu menunjukkan bahwa pendidikan sejatinya kuat ketika dekat dengan masyarakat, bukan ketika terlalu birokratis.

Maka, jika kita benar-benar ingin memperbaiki pendidikan, langkah pertamanya bukan mengganti kurikulum atau membuat proyek baru, tetapi mengembalikan ruh pendidikan: memanusiakan manusia. 

Sekolah harus menjadi tempat anak belajar berpikir, bukan sekadar belajar patuh. Guru harus diberdayakan, bukan dibebani. Pemerataan kualitas harus menjadi prioritas, bukan sekadar retorika anggaran.

Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang menentukan apakah bangsa ini akan berdiri tegak atau roboh. Bangsa besar tidak dibangun dari gedung sekolah yang mewah, tetapi dari pikiran jernih, moral kuat, dan jiwa merdeka anak-anaknya.

Jika kita gagal memperbaiki pendidikan hari ini, maka kita sedang menyiapkan kegagalan bangsa di masa depan. Sebaliknya, jika kita berani melakukan perubahan yang berpihak pada manusia, bukan birokrasi, maka pendidikan bisa kembali menjadi cahaya: cahaya yang menuntun generasi menuju masa depan yang lebih adil, lebih cerdas, dan lebih bermartabat.

***

*) Oleh : Ida Fauziyah, Mahasiswa PPG Calon Guru, Universitas PGRI Ronggolawe Tuban.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bojonegoro just now

Welcome to TIMES Bojonegoro

TIMES Bojonegoro is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.