TIMES BOJONEGORO, BOJONEGORO – Generasi pelajar negeri ini, pernahkah engkau membayangkan secercah harapan digital menerangi ruang-ruang kelas di pelosok nusantara? Namun kini, cahaya itu tertutupi kabut kelabu korupsi yang menjerat bukan sekadar anggaran, tetapi juga masa depan pendidikan kita.
Program digitalisasi pendidikan pernah menjadi pelita: pada masa pandemi, 1,1 juta laptop disebar ke 77.000 sekolah sebagai penyelamat agar proses belajar tidak padam.
Janji “Merdeka Belajar” bahkan terdengar bak merdeka berpikir yang hendak menggugah anak-anak bangsa. Namun gemerlap itu menyembunyikan bayang-bayang buruk Chromebook yang diagung-agungkan rupanya tak cocok digunakan di wilayah 3T karena sinyal internetnya terseok-seok.
Kebijakan pengadaan itu kemudian menyeret mantan Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, menjadi tersangka dalam kasus korupsi pengadaan Chromebook senilai hampir Rp 9,9 triliun, dengan estimasi kerugian negara mencapai Rp 1,9 triliun.
Ironi pendidikan semakin mencolok tatkala kita menengok kembali sejarah panjangnya. Studi Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sepanjang satu dekade terakhir, ada 296 kasus korupsi di sektor pendidikan dengan total kerugian negara mencapai Rp 619 miliar.
Rata-rata, hampir 30 kasus terjadi tiap tahun, terutama menjadikan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan BOS sebagai sasaran empuk. Modus favorit seperti penggelapan dan mark-up muncul terstruktur, melibatkan pejabat dinas, kepala sekolah, hingga kampus perguruan tinggi.
Bahkan antara 2016 hingga September 2021, tercatat 240 kasus korupsi pendidikan dengan kerugian Rp 1,6 triliun menyasar BOS, pembangunan infrastruktur, hingga program bantuan operasional pendidikan.
Kasus korupsi di pendidikan tidak hanya soal anggaran yang hilang, tetapi merampas masa depan anak-anak. Seperti rektor Universitas Lampung, Prof. Karomani, yang tertangkap KPK karena menerima suap hingga Rp 350 juta terkait seleksi jalur mandiri praktik korupsi yang mencuri hak pelajar berprestasi secara adil.
Lebih miris, upaya pendidikan untuk membentuk karakter lugas dan jujur justru terbalik oleh koruptor yang bahkan sejatinya memiliki gelar tinggi, termasuk master dan dosen.
Kini kita berdiri di persimpangan: apakah cahaya pendidikan akan pudar di balik kelamnya apatisme, atau kita bangkit membentuk pelangi keberlanjutan? Untuk itu, transparansi harus menjadi mantra dan praktik sehari-hari auditor publik, akuntabilitas terbuka, publik ikut mengawasi.
Teknologi pendidikan juga harus berakar dari realitas: jangan sekadar alat digital, tetapi sarana membuka pemikiran kritis, memperluas akses, dan menumbuhkan karakter.
Reformasi birokrasi jelas harus dilakukan pemangku kebijakan tak boleh disandera oleh agenda vendor atau politik, karena masa depan bangsa lebih penting daripada keuntungan sesaat.
Lebih dari itu, pendidikan harus kembali bernapas dengan kejujuran: bukan sekadar mengejar angka, tetapi membangun proses yang merdeka dan humanis. Berhentilah mengejar statistik gemilang bila moralitas sistem masih rapuh.
Korupsi di pendidikan adalah api yang membakar lumbung harapan, merusak fondasi masa depan. Kita harus menyiraminya dengan puisi integritas: keputusan jujur, anggaran terbuka, niat tulus.
Jika sistem mampu menggerogoti triliunan rupiah tanpa malu, maka harapan mana yang belum bisa diputar? Mari jadikan pemulihan ini sebagai syair panjang: transparansi, akuntabilitas, dan inovasi bersama rakyat.
Generasi mendatang berhak menerima pendidikan yang modern dan humanis, digital tapi bermoral, efisien dan adil. Pendidikan adalah pelita masa depan. Jangan biarkan korslet oleh korupsi, tetapi biarkah ia menyala menyinari setiap anak bangsa.
***
*) Oleh : Ida Fauziyah, Guru MI Alam Al Azhar Sumberrejo.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |