https://bojonegoro.times.co.id/
Opini

Perpustakaan Sunyi, Literasi yang Terlupakan

Rabu, 24 September 2025 - 19:19
Perpustakaan Sunyi, Literasi yang Terlupakan Ida Fauziyah, Guru MI Alam Al Azhar Sumberrejo.

TIMES BOJONEGORO, BOJONEGORO – Di banyak kota di Indonesia, perpustakaan kini menjelma ruang sunyi. Rak-rak buku yang berjejer rapi hanya menjadi saksi bisu dari langkah-langkah pengunjung yang bisa dihitung dengan jari. Padahal, dahulu perpustakaan adalah pusat dialektika: tempat mahasiswa berdebat, para peneliti menggali inspirasi, dan masyarakat umum mencari pencerahan. Kini, fungsi luhur itu kian memudar. Perpustakaan sepi, literasi bangsa pun meredup.

Fenomena ini bukan sekadar soal malas membaca. Ia adalah potret budaya, kebijakan, sekaligus arah pembangunan pengetahuan kita. Ironisnya, di tengah derasnya arus informasi digital, kita justru kehilangan ruang fisik yang seharusnya menjadi jangkar tradisi intelektual.

Sebuah bangsa besar selalu diukur dari peradaban literasinya. Dari Yunani hingga Baghdad, dari Alexandria hingga Andalusia, perpustakaan adalah simbol peradaban. Ia bukan sekadar ruang menyimpan buku, tetapi arena pertarungan gagasan. Di sana, orang belajar menulis ulang sejarah, mempertanyakan dogma, sekaligus menata masa depan.

Namun, di Indonesia, perpustakaan sering kali dipandang sebelah mata. Ia hadir sebagai formalitas kelembagaan, bukan kebutuhan hidup masyarakat. Gedungnya berdiri, anggarannya ada, tetapi roh dialektika yang seharusnya menghidupinya, lenyap. Tidak mengherankan bila tingkat literasi kita selalu berada di papan bawah dalam berbagai survei internasional.

Literasi yang Gagal Ditanamkan

Sebagian pihak berkilah: bukankah teknologi sudah menggantikan peran perpustakaan? Bukankah sekarang semua informasi bisa diakses melalui gawai? Benar, tetapi ada yang terlupakan. Membaca di perpustakaan bukan hanya soal informasi, melainkan pembentukan karakter intelektual.

Perpustakaan mengajarkan disiplin waktu, kesabaran membuka lembar demi lembar, dan kesadaran bahwa ilmu tidak instan. Ia juga menciptakan ruang interaksi sosial: diskusi antar pembaca, seminar kecil, hingga perdebatan ide. Inilah yang kini hilang. 

Literasi di Indonesia gagal ditanamkan sebagai habitus. Ia berhenti pada slogan kampanye membaca sepuluh menit di sekolah, lomba menulis esai, atau festival buku tahunan tanpa mengubah perilaku membaca masyarakat secara berkelanjutan.

Jika kita menelisik lebih dalam, akar persoalan ini juga terletak pada kebijakan publik. Banyak perpustakaan hanya berdiri sebagai proyek pembangunan. Gedung dibangun megah, peresmian meriah, tetapi setelah itu sunyi. Anggaran habis untuk fisik, sementara program penghidupan isi dan aktivitas intelektual minim.

Tak jarang, perpustakaan tidak memiliki koleksi terbaru, katalog yang rapi, atau akses digital yang memadai. Sementara itu, pustakawan yang seharusnya menjadi motor penggerak literasi lebih sering diperlakukan sekadar penjaga buku. Tanpa peran aktif mereka, perpustakaan hanyalah gudang kertas, bukan ruang peradaban.

Namun, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah. Masyarakat juga ikut melestarikan budaya sepi di perpustakaan. Gaya hidup instan membuat orang lebih betah menatap layar ponsel daripada membuka buku. Cafe-cafe ramai pengunjung, tetapi perpustakaan kota lengang.

Di sini kita melihat paradoks: anak muda bisa menghabiskan berjam-jam bermain gim daring atau scroll media sosial, tetapi tidak mampu duduk setengah jam membaca buku. Apakah ini tanda literasi digital telah mengubur literasi baca? Ataukah kita memang bangsa yang lebih suka mengonsumsi hiburan ketimbang pengetahuan?

Menghidupkan Kembali Dialektika

Menghidupkan kembali perpustakaan bukan mustahil, tetapi membutuhkan keseriusan. Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh.

Pertama, transformasi perpustakaan dari sekadar tempat menyimpan buku menjadi pusat kegiatan intelektual. Diskusi publik, bedah buku, hingga kelas menulis harus rutin diadakan. Dengan begitu, perpustakaan kembali menjadi ruang dialektika, bukan ruang sunyi.

Kedua, integrasi teknologi tanpa meninggalkan tradisi. Koleksi digital harus diperkuat, akses internet gratis disediakan, dan perpustakaan dijadikan hub literasi digital. Namun, buku fisik tetap dijaga, sebab ia memiliki nilai reflektif yang tidak tergantikan oleh layar.

Ketiga, pemberdayaan pustakawan. Mereka bukan sekadar penjaga rak, melainkan fasilitator pengetahuan. Pustakawan harus dilatih untuk mengelola program, mendampingi komunitas, dan menjadi penghubung antara penulis, pembaca, dan masyarakat.

Keempat, kebijakan literasi berkelanjutan. Pemerintah daerah harus berani melibatkan perpustakaan dalam kurikulum pendidikan lokal. Anak sekolah dibiasakan mengunjungi perpustakaan, mahasiswa diarahkan menulis berbasis riset koleksi, dan masyarakat diajak menjadikan perpustakaan sebagai ruang publik alternatif.

Bangsa yang besar bukan hanya dilihat dari gedung pencakar langit atau jalan tol yang membentang. Ia diukur dari sejauh mana warganya menghargai ilmu dan literasi. Jika perpustakaan terus sunyi, maka yang kita bangun hanyalah peradaban fisik tanpa jiwa.

Kita harus menolak menjadi bangsa yang rabun aksara di tengah dunia yang melaju cepat. Perpustakaan tidak boleh dibiarkan menjadi bangunan kosong tanpa makna. Ia harus kembali menjadi mercusuar pengetahuan, tempat gagasan bertemu, dan dialektika tumbuh.

Membangun jalan tol memang penting, tetapi membangun jalan pikiran jauh lebih mendesak. Tanpa literasi yang kuat, bangsa ini akan terjebak dalam pembangunan yang rapuh, mudah goyah diterpa arus globalisasi.

Perpustakaan adalah jantung literasi. Jika ia berhenti berdetak, maka seluruh tubuh peradaban akan melemah. Oleh sebab itu, menghidupkan kembali perpustakaan berarti menyelamatkan masa depan bangsa.

***

*) Oleh : Ida Fauziyah, Guru MI Alam Al Azhar Sumberrejo.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bojonegoro just now

Welcome to TIMES Bojonegoro

TIMES Bojonegoro is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.