TIMES BOJONEGORO, BOJONEGORO – Setiap tahun, pemerintah selalu menyebut pendidikan sebagai prioritas. Undang-undang mengamanatkan anggaran 20 persen; berbagai program digulirkan; jargon kualitas, pemerataan, hingga digitalisasi terus terdengar di ruang publik. Namun di balik gegap gempita kebijakan, ada satu realitas yang sulit disembunyikan: dunia pendidikan kita masih berjalan pincang. Antara janji dan kenyataan, jaraknya terlalu jauh untuk diabaikan.
Pendidikan seharusnya menjadi jalan bagi anak bangsa untuk menembus batas-batas sosial dan menemukan masa depan yang lebih baik. Tetapi sampai hari ini, akses dan kualitas masih sangat ditentukan oleh tempat lahir, kondisi ekonomi keluarga, serta seberapa kuat peran sekolah dan pemerintah setempat. Kesenjangan itu semakin tampak ketika kita melihat fasilitas sekolah yang timpang, kualitas guru yang tidak merata, dan kurikulum yang sering berubah tetapi tidak menyentuh akar masalah.
Salah satu tantangan terbesar pendidikan kita adalah ketidakstabilan kebijakan. Terlalu sering kurikulum direvisi tanpa kesiapan yang matang. Guru dikejar administrasi, bukan ilmu. Siswa dipaksa mengikuti sistem evaluasi yang tidak selalu mencerminkan kemampuan mereka. Setiap pergantian menteri memunculkan pendekatan baru, tetapi jarang ada evaluasi komprehensif yang menjawab: apakah perubahan ini benar-benar meningkatkan kualitas belajar?
Pada sisi lain, masih banyak sekolah yang harus berjuang dengan sarana prasarana yang minim. Di kota besar pun, ruang kelas berdesakan dan fasilitas laboratorium hanya menjadi formalitas.
Di desa dan pulau terpencil, kondisi lebih menyedihkan: guru terbatas, akses internet lemah, dan sebagian siswa harus berjalan kilometer untuk pergi ke sekolah. Pemerataan kualitas belum terjadi, meski anggaran terus meningkat.
Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap realitas guru. Profesi guru sering diagungkan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi penghargaan nyata tidak selalu sebanding. Banyak guru honorer masih menerima gaji jauh di bawah standar layak, sementara beban administrasi yang harus mereka kerjakan justru semakin berat. Alih-alih fokus mengajar, mereka terjebak dalam tumpukan laporan. Reformasi pendidikan tidak akan pernah berhasil bila kesejahteraan dan ruang kerja guru tidak diperbaiki.
Di tengah itu semua, tantangan baru hadir dari revolusi digital. Banyak sekolah mulai mengadopsi teknologi, tetapi tidak diikuti pemerataan perangkat. Ada sekolah yang telah menggunakan pembelajaran berbasis aplikasi, tetapi ada pula yang bahkan tidak memiliki proyektor.
Digitalisasi tanpa pemerataan hanya akan memperlebar jurang ketidakadilan. Kita sering mendengar soal “literasi digital,” tetapi jarang membahas bagaimana kaum muda akan menggunakannya untuk mengembangkan daya pikir, kreativitas, dan etika bermedia.
Sistem pendidikan idealnya tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga karakter. Namun pendidikan karakter yang sering didengungkan pemerintah masih sebatas slogan. Masalah perundungan, intoleransi, dan kekerasan di sekolah menunjukkan bahwa nilai-nilai dasar belum benar-benar menjadi bagian dari ekosistem pendidikan. Sekolah masih sibuk mengejar angka, bukan mengasuh manusia.
Ironisnya, pendidikan kita juga kerap terjebak dalam orientasi prestise. Banyak sekolah berlomba-lomba mem-branding dirinya sebagai unggulan, favorit, atau bertaraf internasional, tetapi lupa bahwa sekolah unggul bukan soal gedung megah atau seragam mahal.
Sekolah unggul adalah yang mampu membentuk siswa menjadi manusia mandiri, terbuka, dan mampu menghadapi tantangan dunia nyata. Jika orientasi hanya berhenti pada pencitraan, maka pendidikan kehilangan makna.
Keterlibatan masyarakat pun sering bersifat formalitas. Komite sekolah di banyak tempat tidak benar-benar berfungsi sebagai ruang partisipasi publik, melainkan sekadar perpanjangan tangan kebijakan sekolah. Padahal pendidikan adalah kerja kolektif. Tanpa kolaborasi guru, orang tua, pemerintah, dan masyarakat, kualitas pendidikan tidak mungkin meningkat. Sayangnya, komunikasi yang seharusnya membangun justru sering terhalang birokrasi.
Tentu, tidak semua hal gelap. Banyak guru yang bekerja melampaui batas tugasnya. Banyak kepala sekolah yang berjuang melawan keterbatasan untuk menciptakan ruang belajar yang bermakna. Banyak komunitas hadir memberi dukungan. Tetapi kerja-kerja baik itu tidak akan pernah cukup tanpa keberpihakan negara yang jelas dan tegas.
Karena itu, kita perlu keberanian untuk mengakui bahwa pendidikan kita butuh perubahan yang lebih mendasar. Bukan sekadar perbaikan teknis, tetapi perombakan paradigma. Pendidikan tidak boleh lagi diletakkan sebagai proyek tahunan, tetapi sebagai investasi jangka panjang yang arah dan tujuannya konsisten. Kita membutuhkan kebijakan yang stabil, pemerataan fasilitas yang nyata, peningkatan kualitas guru yang sistematis, dan lingkungan belajar yang menumbuhkan nalar kritis.
Lebih dari itu, pendidikan harus kembali menjadi ruang pembebasan. Ruang yang membentuk manusia berani berpikir, bukan sekadar mengikuti. Ruang yang menumbuhkan kepekaan sosial, bukan hanya mengejar skor. Ruang yang mengajarkan keberanian berdialog, bukan hanya patuh tanpa berpikir.
Jika pendidikan hanya menghasilkan generasi penghafal, maka masa depan bangsa tergadaikan. Tetapi jika pendidikan mampu melahirkan generasi pembelajar, kritis, dan berintegritas, maka harapan bangsa tetap menyala.
Pertanyaannya sekarang, apakah kita siap berhenti menjadikan pendidikan sebagai slogan, dan mulai menjadikannya sebagai prioritas sesungguhnya? Sebab masa depan bangsa tidak ditentukan oleh proyek-proyek besar, tetapi oleh kualitas manusia yang dibentuk sejak bangku sekolah.
***
*) Oleh : Ida Fauziyah, Mahasiswa PPG Calon Guru, Universitas PGRI Ronggolawe Tuban.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |