https://bojonegoro.times.co.id/
Opini

MBG yang Tertinggal di Tengah Guncangan Reshuffle

Selasa, 09 September 2025 - 17:19
MBG yang Tertinggal di Tengah Guncangan Reshuffle Ida Fauziyah, Guru MI Alam Al Azhar Sumberrejo.

TIMES BOJONEGORO, BOJONEGORO – Di awal pemerintahan Prabowo Subianto, janji politik yang paling menggema bukanlah soal kursi menteri, melainkan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ia dikemas sebagai mahakarya populis yang menyentuh langsung dapur rakyat, menyentuh perut anak-anak bangsa. 

Dalam setiap pidato, MBG dipromosikan sebagai solusi mengatasi gizi buruk, stunting, sekaligus investasi masa depan bangsa. Publik sempat menaruh harapan besar, karena persoalan gizi adalah luka lama yang tak kunjung sembuh.

Namun, belakangan ini, isu MBG seperti tenggelam di bawah arus deras politik reshuffle kabinet. Sorotan media, perdebatan publik, hingga obrolan di warung kopi lebih banyak tertuju pada siapa yang dicopot dan siapa yang diangkat, daripada bagaimana kelanjutan nasib jutaan anak Indonesia yang menunggu jatah makan bergizi. 

Seolah-olah gizi anak negeri bisa menunggu, sementara kursi kekuasaan tidak. Inilah ironi politik kita: urusan perut rakyat sering kalah pamor dibanding urusan kursi elite.

Padahal, jika ditarik ke akar persoalan, MBG bukan sekadar janji kampanye. Program ini adalah taruhan moral sebuah pemerintahan. Bagaimana mungkin bangsa besar berbicara soal ketahanan pangan, teknologi canggih, dan lompatan ekonomi, jika anak-anaknya masih bertumbuh dengan gizi seadanya? 

Data BPS menunjukkan, prevalensi stunting di Indonesia masih berada di kisaran 21,5 persen pada 2023. Angka itu jauh dari target 14 persen yang dipatok pemerintah. Tanpa terobosan besar, cita-cita emas 2045 hanyalah jargon kosong.

Kritik terhadap MBG sebenarnya sudah muncul sejak awal. Dari sisi anggaran, program ini diprediksi menelan lebih dari 400 triliun rupiah per tahun. Pertanyaannya, apakah APBN mampu menanggung beban sebesar itu tanpa memangkas pos penting lainnya seperti pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur? 

Apalagi dalam suasana politik ekonomi global yang penuh ketidakpastian, keberanian meluncurkan program raksasa harus disertai kalkulasi matang, bukan sekadar ambisi populis.

Di titik inilah, reshuffle kabinet memberi dampak langsung. Ketika Menteri Keuangan diganti, pasar bergejolak, investor waspada, dan kredibilitas fiskal dipertanyakan. Jika stabilitas keuangan negara terguncang, dari mana dana untuk MBG akan dijamin? 

Jangan-jangan, janji makan bergizi gratis hanya tinggal jargon kampanye, sementara anak-anak kembali makan dengan lauk garam dan nasi putih. Reshuffle yang mestinya memperkuat, justru berisiko melemahkan fondasi pelaksanaan MBG.

Namun kritik ini tidak berhenti pada nada pesimis. Justru karena MBG menyangkut hajat hidup rakyat, pemerintah perlu membuktikan bahwa program ini tidak akan ikut tenggelam oleh kegaduhan politik. 

Pertama, pemerintah harus segera memastikan keberlanjutan desain anggaran MBG pasca reshuffle. Jangan biarkan kekosongan kursi Menteri Keuangan menjadi alasan untuk menunda atau mengurangi komitmen terhadap program ini. Transparansi anggaran harus dikedepankan, bukan ditutup dengan retorika.

Kedua, implementasi MBG harus melibatkan pemerintah daerah, sekolah, hingga komunitas lokal. Jangan sampai program ini hanya menjadi proyek pusat yang kaku, penuh birokrasi, dan rawan korupsi. 

Desentralisasi eksekusi adalah kunci agar makanan bergizi benar-benar sampai ke piring anak-anak, bukan berhenti di meja pejabat. Apalagi publik masih segar mengingat kasus korupsi di dunia pendidikan. Jika MBG bernasib sama, kepercayaan rakyat akan runtuh seketika.

Ketiga, isu gizi harus diposisikan sebagai prioritas kebijakan nasional yang tidak bisa ditawar. Pemerintah boleh berganti menteri, kursi kabinet boleh berguncang, tapi kebutuhan gizi anak bangsa tidak bisa ditunda sehari pun. 

Jangan biarkan reshuffle menjadi alasan pengalihan perhatian. Di sini, media dan masyarakat sipil juga punya peran besar untuk terus menagih janji, agar MBG tetap berada di garis depan agenda publik.

Dalam sejarah politik kita, sudah terlalu sering program rakyat tersisih oleh kegaduhan elite. Reshuffle datang dan pergi, tapi wajah kemiskinan, kelaparan, dan gizi buruk tetap sama. 

Jika Prabowo ingin mencatatkan namanya dalam sejarah bukan sekadar sebagai presiden yang pandai beretorika, melainkan pemimpin yang menyehatkan generasi, maka MBG harus dibuktikan sebagai program yang berjalan konsisten, bukan sekadar slogan kampanye yang perlahan hilang ditelan bising politik.

Pada akhirnya, rakyat tidak peduli siapa yang duduk di kursi menteri, siapa yang dekat dengan presiden, atau siapa yang kalah dalam intrik politik istana. Rakyat hanya ingin melihat anak-anaknya bisa sekolah dengan perut kenyang, bisa tumbuh dengan sehat, dan bisa bermimpi tanpa dibayangi gizi buruk. Itu saja.

Maka, jika reshuffle kabinet adalah drama politik yang menyita panggung, biarlah publik tetap menyalakan lampu sorot ke isu MBG. Sebab, tidak ada artinya mengganti pemain di panggung kekuasaan, bila generasi yang kelak menjadi penonton dan sekaligus pewaris bangsa dibiarkan tumbuh dalam kelemahan.

***

*) Oleh : Ida Fauziyah, Guru MI Alam Al Azhar Sumberrejo.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bojonegoro just now

Welcome to TIMES Bojonegoro

TIMES Bojonegoro is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.