https://bojonegoro.times.co.id/
Opini

Krisis Literasi di Tengah Ledakan Konten Digital

Kamis, 18 September 2025 - 23:44
Krisis Literasi di Tengah Ledakan Konten Digital Ida Fauziyah, Guru MI Alam Al Azhar Sumberrejo.

TIMES BOJONEGORO, BOJONEGORO – Ledakan konten digital dalam dua dekade terakhir telah mengubah wajah dunia secara drastis. Informasi mengalir deras dari berbagai platform, mulai dari media sosial, portal berita, hingga video pendek yang dikonsumsi jutaan orang setiap detik. 

Fenomena ini sering dipandang sebagai kemajuan luar biasa: pengetahuan lebih mudah diakses, belajar bisa dilakukan dari mana saja, dan batas ruang serta waktu seolah lenyap. Namun di balik itu, paradoks yang mengkhawatirkan muncul: krisis literasi kian nyata, terutama di kalangan generasi muda.

Krisis literasi hari ini tidak lagi sebatas pada kemampuan teknis membaca dan menulis. Ia menyentuh pada daya kritis, pemahaman makna, serta kecakapan memilah informasi yang benar dari yang menyesatkan. Indonesia, misalnya, sudah lama berkutat dengan peringkat literasi yang rendah di tingkat global. 

Alih-alih teratasi, era digital justru memperlebar jurang itu. Siswa dan mahasiswa lebih akrab dengan scroll layar TikTok ketimbang membuka buku. Orang lebih mempercayai potongan video tiga puluh detik dibanding membaca artikel panjang yang memberi ruang refleksi.

Situasi ini memunculkan gejala serius bagi kehidupan publik. Kemampuan berpikir kritis menyusut karena konten digital sebagian besar dirancang instan, cepat, dan dangkal. Algoritma media sosial mendorong pengguna hanya mengonsumsi apa yang menyenangkan dan mudah dicerna, bukan yang menantang nalar. 

Budaya membaca teks panjang, menganalisis argumen, atau menimbang fakta semakin asing. Masyarakat pun kian mudah terseret opini viral tanpa sempat melakukan verifikasi, sesuatu yang pada akhirnya mengikis kualitas diskursus demokrasi.

Ledakan informasi juga tidak seimbang dengan kemampuan literasi digital masyarakat. Akses terhadap ribuan informasi dalam hitungan menit tidak serta-merta membuat orang mampu menyaringnya. Hoaks, disinformasi, dan propaganda politik justru bersembunyi dalam format populer: meme, video pendek, atau narasi ringan yang tampak meyakinkan. 

Ketika literasi kritis rendah, masyarakat dengan cepat menjadi korban manipulasi. Ini bukan sekadar masalah personal, melainkan ancaman serius bagi demokrasi yang membutuhkan warga melek informasi.

Lebih jauh, ledakan konten digital menggeser identitas budaya literasi. Dahulu, membaca buku bukan hanya aktivitas intelektual, melainkan juga kebanggaan sosial. Kini, gengsi itu tergeser oleh standar baru: jumlah followers, likes, dan trending topic. 

Generasi muda tumbuh dengan orientasi pengakuan yang ditentukan oleh popularitas layar, bukan kedalaman pengetahuan. Jika kecenderungan ini terus berlanjut, bangsa akan kehilangan fondasi intelektual yang selama ini menopang daya saing peradaban.

Meski demikian, digitalisasi tidak sepenuhnya layak dipandang negatif. Konten digital juga menyimpan potensi besar untuk menghidupkan kembali gairah literasi bila dikelola secara cerdas. Platform e-book, jurnal online, atau kanal edukatif di YouTube menunjukkan bahwa teknologi bisa menjadi pintu masuk pengetahuan. 

Masalahnya, kebijakan publik kita sering berhenti pada penyediaan infrastruktur tanpa memperkuat budaya literasi itu sendiri. Pemerintah kerap berbangga dengan penetrasi internet yang meningkat, tetapi lupa bahwa akses tanpa edukasi hanya melahirkan konsumen, bukan pembelajar.

Krisis literasi di era digital harus ditempatkan sebagai isu strategis. Pendidikan literasi kritis sejak dini adalah kunci penting. Sekolah seharusnya tidak hanya mengajarkan keterampilan membaca, tetapi juga melatih verifikasi informasi, kemampuan menulis analitis, dan keberanian menimbang kebenaran. Literasi harus dipahami bukan sekadar kemampuan kognitif, tetapi juga etika bertanggung jawab terhadap pengetahuan.

Selain pendidikan, peran negara dalam membangun ekosistem literasi digital yang sehat sangat mendesak. Algoritma media sosial yang berorientasi pada atensi sering bertentangan dengan kepentingan pendidikan publik. 

Pemerintah bisa mendorong kolaborasi dengan platform digital untuk memberi ruang lebih besar bagi konten edukatif. Insentif kepada kreator konten yang menghadirkan materi literasi, pengetahuan, atau diskusi publik akan menyeimbangkan arus hiburan dangkal yang selama ini mendominasi.

Gerakan literasi juga harus ditumbuhkan di level komunitas. Sejarah membuktikan, kebiasaan membaca lahir bukan hanya dari sekolah, tetapi dari ruang sosial yang hidup. Taman bacaan, klub diskusi, hingga forum literasi berbasis komunitas perlu dihidupkan kembali. 

Di era digital, ruang-ruang itu bisa bertransformasi dalam bentuk baru seperti diskusi buku virtual, forum literasi digital, hingga podcast edukatif. Partisipasi kolektif inilah yang akan menjaga literasi tetap menjadi bagian dari budaya, bukan sekadar proyek formal.

Krisis literasi di tengah ledakan konten digital adalah peringatan serius bagi bangsa. Generasi muda tidak boleh dibiarkan tumbuh hanya sebagai penonton pasif arus informasi. Tanpa literasi kritis, masyarakat mudah larut dalam euforia permukaan dan kehilangan kemampuan menimbang arah masa depan. 

Era digital menuntut kita tidak sekadar melek teknologi, tetapi juga melek makna. Tugas besar pendidikan dan kebijakan publik adalah mengubah ledakan konten menjadi ledakan kesadaran, agar bangsa tidak terperangkap dalam kebisingan tanpa substansi.

***

*) Oleh : Ida Fauziyah, Guru MI Alam Al Azhar Sumberrejo.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bojonegoro just now

Welcome to TIMES Bojonegoro

TIMES Bojonegoro is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.