TIMES BOJONEGORO, BOJONEGORO – Dalam setiap momentum Hari Guru, pemerintah dan pejabat publik kembali membacakan pesan normatif tentang pentingnya peran guru sebagai pembentuk masa depan bangsa. Namun ketika layar seremonial ditutup, realitas pendidikan kita tetap berjalan pincang.
Guru terus diposisikan sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”, tetapi dalam praktiknya justru sering menjadi korban dalam rantai panjang persoalan struktural pendidikan Indonesia. Kita sedang menghadapi krisis, tetapi terlalu sering menyalahkan guru sebagai ujung tombak, padahal masalah yang sesungguhnya jauh lebih dalam dan sistemik.
Sejak lama, wajah pendidikan nasional terjebak dalam lingkaran kebijakan yang penuh tambal sulam. Mulai dari kurikulum yang berganti terlalu cepat, standar pembelajaran yang tidak stabil, hingga tuntutan administratif yang semakin menumpuk.
Guru bukan lagi seorang pendidik; mereka berubah menjadi “operator kebijakan”, sibuk mengisi laporan dan validasi data alih-alih mendidik secara substantif. Di tengah kondisi itu, harapan terhadap mutu pendidikan tetap dipasang tinggi seolah guru bisa menembus batas-batas struktural yang mengekangnya.
Padahal, kalau kita bicara akar masalah, kegagalan sistem pendidikan tidak bisa dilepaskan dari ketidaksiapan negara membangun fondasi yang kokoh. Rekrutmen guru tidak selalu berbasis kompetensi, pemerataan guru masih timpang, dan kesejahteraan guru honorer tetap menjadi luka lama yang tak kunjung sembuh.
Lebih ironis ketika guru diminta mencetak generasi kompetitif, sementara negara sendiri tidak menyediakan alat yang memadai untuk mencapainya. Ini seperti meminta seorang pelukis menghasilkan karya masterpiece, tetapi kuas, cat, dan kanvasnya disimpan di gudang yang terkunci.
Sementara itu, transformasi pendidikan yang digembar-gemborkan pemerintah seringkali hanya berhenti pada jargon. Konsep Merdeka Belajar, misalnya, memang membawa semangat baik memberikan ruang inovasi bagi guru dan siswa. Namun implementasinya tidak semulus ide aslinya.
Banyak guru terutama di daerah masih kesulitan memahami modul, terbatas fasilitas internet, bahkan kekurangan sarana pelatihan. Akibatnya, kebijakan yang mestinya memerdekakan justru menciptakan kebingungan baru. Guru “dipaksa merdeka” tanpa dibekali kemampuan memadai untuk benar-benar merdeka.
Tidak sedikit pula masyarakat yang tergesa-gesa menghakimi guru ketika muncul kasus kekerasan atau pelanggaran etik di sekolah. Padahal fenomena ini adalah puncak gunung es dari tekanan psikologis dan beban kerja yang terus meningkat.
Tentu saja perilaku salah tetap harus disanksi, tetapi generalisasi terhadap profesi guru tidak menyelesaikan masalah. Kita lupa bahwa sistem pendidikan sedang rapuh, dan guru berada di barisan paling depan menanggung seluruh bebannya.
Kritik paling serius terhadap pendidikan kita terletak pada kegagalan mempersiapkan guru sebagai profesi yang benar-benar profesional. Sampai hari ini, pendidikan guru di LPTK masih belum sepenuhnya mampu menjawab tuntutan zaman.
Kurikulumnya tertinggal, praktik magang sering bersifat formalitas, dan tidak semua calon guru mendapatkan pembinaan kecakapan pedagogik yang memadai.
Kita sering berharap guru menjadi agen perubahan visioner, inovatif, dan adaptif tetapi tidak pernah serius menyiapkan ekosistem pendukung untuk mewujudkannya. Kita seperti berharap tumbuhnya pohon tanpa menyiapkan tanah yang subur.
Persoalan lain yang tidak kalah mendasar adalah lemahnya budaya literasi dan tradisi ilmiah di sekolah. Banyak guru mengeluhkan bahwa mereka dituntut membangun budaya baca di sekolah, tetapi perpustakaan tidak memiliki koleksi memadai atau bahkan tidak berfungsi sama sekali.
Lebih parah lagi, guru sering diminta membuat program literasi tanpa pendampingan metodologis. Akibatnya, program literasi hanya berubah menjadi kegiatan seremonial yang sekadar menggugurkan kewajiban.
Padahal literasi adalah ruh pendidikan. Tanpa literasi, kemampuan berpikir kritis tidak akan tumbuh. Tanpa kemampuan berpikir kritis, pendidikan hanya menjadi rutinitas dan hafalan. Dan ketika pendidikan hanya mengajarkan hafalan, maka guru bertransformasi menjadi penyampai materi, bukan fasilitator berpikir. Maka tidak heran jika kita terus mencetak lulusan yang bingung menghadapi perubahan, ketakutan pada tantangan, dan rentan terjebak pola pikir instan.
Yang paling menyakitkan adalah ketika guru seringkali menjadi target politisasi. Di banyak daerah, pengangkatan guru honorer, penugasan, bahkan jabatan kepala sekolah tidak lepas dari intervensi politis. Guru yang mestinya berdiri pada independensi moral justru terjebak pada kepentingan pragmatis birokrasi.
Ketika “loyalitas politik” lebih menentukan daripada kapabilitas, maka jangan salahkan guru jika semangat profesionalisme mereka terkikis perlahan. Dalam suasana seperti ini, etos kerja dan dedikasi guru akan sangat sulit dijaga.
Dalam pusaran persoalan yang rumit tersebut, kita perlu mengembalikan wacana pendidikan kepada esensinya: memanusiakan manusia. Dan proses memanusiakan hanya bisa dilakukan oleh seorang pendidik yang diperlakukan secara manusiawi pula.
Kita tidak mungkin menciptakan guru berkualitas jika negara masih memperlakukan mereka sebagai pekerja kelas dua. Kita tidak akan menghasilkan pendidikan yang unggul jika guru masih berjuang bertahan hidup dengan gaji yang tidak layak. Kita tidak akan pernah memperbaiki pendidikan jika kebijakan hanya hitam di atas kertas, tetapi tidak hidup dalam praktik.
Karena itu, negara harus berhenti melempar beban kepada guru. Yang perlu dibenahi adalah ekosistemnya: kualitas LPTK, sertifikasi yang bermakna, pelatihan berkelanjutan, distribusi guru yang adil, dan penguatan kesejahteraan yang benar-benar memerdekakan.
Di luar itu, masyarakat juga perlu mengubah cara pandang terhadap guru. Alih-alih menyalahkan mereka atas kegagalan pendidikan, mari melihat lebih jauh apa yang sebenarnya menghambat langkah mereka.
Guru bukanlah penyebab krisis pendidikan. Mereka adalah korban pertama, dan sekaligus harapan terakhir. Jika negara benar-benar ingin masa depan pendidikan yang kuat, mulailah dengan memperlakukan guru bukan sekadar sebagai pekerja, tetapi sebagai fondasi peradaban. (*)
***
*) Oleh : Ida Fauziyah, Guru MI Alam Al Azhar Sumberrejo, Bojonegoro.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |