https://bojonegoro.times.co.id/
Opini

Flexing Pejabat Negara

Minggu, 14 September 2025 - 10:00
Flexing Pejabat Negara Choirul Anam, Wakil Ketua Bidang Ekonomi PC GP Ansor Bojonegoro.

TIMES BOJONEGORO, BOJONEGORO – Pernahkah Anda sedang asyik berselancar di media sosial lalu tiba-tiba muncul berita pejabat pamer gaya hidup mewah? Ada yang jalan-jalan ke luar negeri dengan jet pribadi, ada pula yang memamerkan koleksi tas atau jam tangan miliaran rupiah. 

Rasanya seperti menonton reality show, padahal ini kisah nyata dari mereka yang seharusnya menjadi teladan. Fenomena ini kini populer dengan istilah flexing, pamer harta atau gaya hidup glamor dan semakin sering dikaitkan dengan pejabat negara kita.

Padahal, dalam teori kepemimpinan klasik, salah satu syarat seorang pemimpin adalah integritas. Integritas berarti konsistensi antara ucapan, tindakan, dan nilai moral. 

Ketika seorang pejabat sibuk flexing di ruang publik, publik pun wajar bertanya: integritasnya di mana? Apalagi jika kekayaan yang ditampilkan jauh melampaui gaji resmi yang mereka terima.

Sebenarnya, flexing bukanlah hal baru. Di masa kolonial, para bangsawan juga gemar memamerkan kekuasaan melalui pakaian mewah, perhiasan berkilau, dan pesta besar. Bedanya, di era digital, panggung untuk pamer itu jauh lebih luas. 

Media sosial mengubah flexing menjadi tontonan massal sekaligus strategi branding personal. Jika selebritas, influencer, atau pebisnis melakukannya, publik mungkin bisa memaklumi karena itu bagian dari promosi diri. Namun ketika pejabat publik melakukan hal serupa, konteksnya berubah total. 

Mereka bukan sekadar individu, melainkan pemegang mandat rakyat. Gaji dan fasilitasnya bersumber dari pajak masyarakat, sehingga setiap tindak-tanduk mereka memengaruhi kepercayaan publik.

Flexing pejabat memicu sorotan tajam karena beberapa alasan. Pertama, soal moralitas dan keteladanan. Pejabat publik bukan hanya pengelola anggaran, melainkan juga figur moral yang perilakunya ditiru masyarakat. Ketika mereka sibuk memamerkan harta, publik menilai orientasi mereka lebih pada materi ketimbang pelayanan. 

Kedua, soal kesenjangan sosial. Ketika rakyat kecil masih sibuk memikirkan harga beras, biaya sekolah anak, atau antrean layanan kesehatan, melihat pejabat bersolek dengan kemewahan terasa seperti menabur garam di atas luka. 

Jurang sosial semakin kentara, dan riset-riset sosial membuktikan bahwa ketimpangan yang mencolok bisa memicu keresahan, bahkan merusak kualitas kepercayaan sosial. 

Ketiga, soal integritas. Publik berhak curiga, dari mana asal harta yang berlebihan itu? Apakah murni dari kerja halal atau justru ada konflik kepentingan? Skandal-skandal sebelumnya seperti kasus pegawai pajak yang pamer mobil sport mewah membuktikan bahwa gaya hidup bisa menjadi pintu masuk penyelidikan.

Dalam literatur etika pemerintahan, pejabat publik dituntut untuk menjunjung transparansi, akuntabilitas, dan tanggung jawab. Flexing jelas bertolak belakang dengan prinsip itu. 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan sudah berulang kali mengingatkan bahwa gaya hidup mewah pejabat berpotensi menimbulkan gratifikasi terselubung atau konflik kepentingan. Namun di sisi lain, literasi publik kita kini semakin kritis. 

Netizen tidak segan mengulik, menghitung, bahkan membandingkan kekayaan pejabat dengan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Artinya, ruang untuk *flexing* semakin sempit karena sorotan masyarakat kian tajam.

Sebagian pihak mungkin berargumen bahwa flexing adalah bentuk transparansi. Jika seorang pejabat punya jam tangan mahal, mengapa harus disembunyikan? Bukankah semua orang berhak menikmati hasil kerja keras? 

Pandangan itu tampak masuk akal, tetapi keliru. Transparansi bukan berarti pamer, melainkan keterbukaan administratif melalui laporan resmi yang bisa diaudit. Pamer harta di media sosial tidak sama dengan akuntabilitas, justru mengaburkan batas antara urusan pribadi dan tanggung jawab publik.

Kita bisa belajar dari negara lain. Di Jepang, pejabat publik dikenal dengan gaya hidup sederhana. Mereka yang ketahuan bergaya hidup mewah akan langsung kehilangan legitimasi di mata publik. Di Skandinavia, budaya egaliter membuat pejabat lebih memilih tampil biasa saja, bahkan tak jarang menggunakan transportasi umum. 

Bandingkan dengan sebagian pejabat kita yang gemar berkonvoi dengan mobil dinas mewah dan pengawalan ketat. Perbedaan kultur memang ada, tetapi bukan berarti kita tidak bisa mencontoh. Kesederhanaan bukanlah simbol keterbatasan, melainkan pilihan etis untuk menjaga kepercayaan rakyat.

Flexing pejabat adalah cermin dari rapuhnya integritas. Ia menunjukkan betapa jabatan masih sering dianggap jalan pintas menuju kemewahan, bukan amanah untuk melayani. Dalam masyarakat yang semakin melek literasi, gaya hidup mewah pejabat bukan lagi sumber kekaguman, melainkan tanda tanya besar. 

Publik tentu berharap pejabat negara lebih memilih low profile, high impact ketimbang high profile, low integrity. Sebab, seperti kata filsuf Romawi, Seneca: “Kekayaan besar tidak membuat jiwa besar. Justru jiwa besarlah yang membuat kekayaan menjadi berarti.”

***

*) Oleh : Choirul Anam, Wakil Ketua Bidang Ekonomi PC GP Ansor Bojonegoro.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bojonegoro just now

Welcome to TIMES Bojonegoro

TIMES Bojonegoro is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.